Oleh : Abdul Hafiz
KECERDASAN EMOSI – EQ
Banyak contoh di sekitar kita membuktikan
bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang
tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang berhasil. Kebanyakan
program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang
diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati,
seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini
telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan
dan tampak begitu menjanjikan, namun kariernya mandek. Atau lebih buruk lagi,
tersingkir, akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
Saya
ingin menyampaikan sesuatu hal yang
terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional
terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik
tidak seberapa dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang
bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi
lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan
diri, motivasi, kerja sama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap
perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang praktisi kaliber
internasional, Linda Keegan, salah seorang vice president untuk
pengembangan eksekutif Citybank di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa
kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi dasar dalam setiap pelatihan manajemen.
Dari
hasil tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja
buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi.
Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak
bisa menjadi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau
seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Menurut makalah Cleland tahun
1973 “Testing for Competence” bahwa “Seperangkat kecakapan khusus seperti
empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses
dan bintang-bintang kinerja”.
Saat
ini perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka
menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang, adalah kecerdasan emosi.
KECERDASAN SPIRITUAL-SQ
Danah
Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan
EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar
dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence, Bloomsbury, Great Britain).
Sedangkan
di dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran
yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola
pemikiran tauhid, serta berprinsip “hanya karena Allah”. Sebagai contoh, seorang
bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai buruh. Tugasnya memasang dan
mengencangkan baut pada jok pengemudi
mobil. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannya selama hampir sepuluh tahun.
Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit baginya untuk meraih
posisi puncak. Ketika ditanya bahwa bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat
membosankan, dia menjawab dengan tersenyum, “Tidakkah ini suatu pekerjaan
mulia,, saya telah menyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil
ini?, saya mengeratkan kuat-kuat kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga
mereka sekeluarga selamat”.
Pakar
EQ, Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat
berbeda dengan IQ. IQ umumnya tidak berubah selama kita hidup. Sementara
kemampuan yang murni kognitif relatif tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi
dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pemalu,
pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan
usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi
tersebut. Tidak seperti IQ. Kecerdasan
emosi ini dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.
KECERDASAN EMOSI – EQ
Banyak contoh di sekitar kita membuktikan
bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang
tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang
berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang berhasil. Kebanyakan
program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang
diperlukan sebenarnya adalah bagaimana mengembangkan kecerdasan hati,
seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini
telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan
dan tampak begitu menjanjikan, namun kariernya mandek. Atau lebih buruk lagi,
tersingkir, akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
Saya
ingin menyampaikan sesuatu hal yang
terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional
terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik
tidak seberapa dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang
bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi
lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan
diri, motivasi, kerja sama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap
perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang praktisi kaliber
internasional, Linda Keegan, salah seorang vice president untuk
pengembangan eksekutif Citybank di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa
kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi dasar dalam setiap pelatihan manajemen.
Dari
hasil tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja
buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi.
Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak
bisa menjadi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau
seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Menurut makalah Cleland tahun
1973 “Testing for Competence” bahwa “Seperangkat kecakapan khusus seperti
empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses
dan bintang-bintang kinerja”.
Saat
ini perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka
menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama
keberhasilan seseorang, adalah kecerdasan emosi.
KECERDASAN SPIRITUAL-SQ
Danah
Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan
untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku
dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk
menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan
dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan
EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar
dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence, Bloomsbury, Great Britain).
Sedangkan
di dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah
terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran
yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola
pemikiran tauhid, serta berprinsip “hanya karena Allah”. Sebagai contoh, seorang
bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai buruh. Tugasnya memasang dan
mengencangkan baut pada jok pengemudi
mobil. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannya selama hampir sepuluh tahun.
Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit baginya untuk meraih
posisi puncak. Ketika ditanya bahwa bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat
membosankan, dia menjawab dengan tersenyum, “Tidakkah ini suatu pekerjaan
mulia,, saya telah menyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil
ini?, saya mengeratkan kuat-kuat kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga
mereka sekeluarga selamat”.
Pakar
EQ, Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat
berbeda dengan IQ. IQ umumnya tidak berubah selama kita hidup. Sementara
kemampuan yang murni kognitif relatif tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi
dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pemalu,
pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan
usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi
tersebut. Tidak seperti IQ. Kecerdasan
emosi ini dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar