Rabu, 11 Januari 2017

Kecerdasan Emosional dan Spiritual



 

 

 Oleh : Abdul Hafiz


KECERDASAN EMOSI – EQ

          Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan  sebenarnya adalah  bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun kariernya mandek. Atau lebih buruk lagi, tersingkir, akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
          Saya ingin  menyampaikan sesuatu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerja sama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang praktisi kaliber internasional, Linda Keegan, salah seorang vice president untuk pengembangan eksekutif Citybank di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi dasar dalam setiap pelatihan manajemen.
          Dari hasil tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Menurut makalah Cleland tahun 1973 “Testing for Competence” bahwa “Seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang kinerja”.
          Saat ini perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang, adalah kecerdasan emosi.
         


KECERDASAN SPIRITUAL-SQ

          Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value,  yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence, Bloomsbury, Great Britain).
          Sedangkan di dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran  tauhid, serta berprinsip  “hanya karena Allah”. Sebagai contoh, seorang bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai buruh. Tugasnya memasang dan mengencangkan  baut pada jok pengemudi mobil. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannya selama hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Ketika ditanya bahwa bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat membosankan, dia menjawab dengan tersenyum, “Tidakkah ini suatu pekerjaan mulia,, saya telah menyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil ini?, saya mengeratkan kuat-kuat kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat”.
          Pakar EQ, Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ. IQ umumnya tidak berubah selama kita hidup. Sementara kemampuan yang murni kognitif relatif tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pemalu, pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.  Tidak seperti IQ. Kecerdasan emosi ini dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.


KECERDASAN EMOSI – EQ

          Banyak contoh di sekitar kita membuktikan bahwa orang yang memiliki kecerdasan otak saja, atau banyak memiliki gelar yang tinggi belum tentu sukses berkiprah di dunia pekerjaan. Bahkan seringkali yang berpendidikan formal lebih rendah ternyata banyak yang berhasil. Kebanyakan program pendidikan hanya berpusat pada kecerdasan akal (IQ), padahal yang diperlukan  sebenarnya adalah  bagaimana mengembangkan kecerdasan hati, seperti ketangguhan, inisiatif, optimisme, kemampuan beradaptasi yang kini telah menjadi dasar penilaian baru. Saat ini begitu banyak orang berpendidikan dan tampak begitu menjanjikan, namun kariernya mandek. Atau lebih buruk lagi, tersingkir, akibat rendahnya kecerdasan hati mereka.
          Saya ingin  menyampaikan sesuatu hal yang terjadi di Amerika Serikat tentang kecerdasan emosi. Menurut survey nasional terhadap apa yang diinginkan oleh pemberi kerja, bahwa keterampilan teknik tidak seberapa dibandingkan kemampuan dasar untuk belajar dalam pekerjaan yang bersangkutan. Di antaranya, adalah kemampuan mendengarkan dan berkomunikasi lisan, adaptasi, kreatifitas, ketahanan mental terhadap kegagalan, kepercayaan diri, motivasi, kerja sama tim dan keinginan untuk memberi kontribusi terhadap perusahaan. Saya tambahkan lagi pendapat seorang praktisi kaliber internasional, Linda Keegan, salah seorang vice president untuk pengembangan eksekutif Citybank di salah satu negara Eropa mengatakan bahwa kecerdasan emosi atau EQ harus menjadi dasar dalam setiap pelatihan manajemen.
          Dari hasil tes IQ, kebanyakan orang yang memiliki IQ tinggi menunjukkan kinerja buruk dalam pekerjaan, sementara yang ber IQ sedang, justru sangat berprestasi. Kemampuan akademik, nilai rapor, predikat kelulusan pendidikan tinggi tidak bisa menjadi tolok ukur seberapa baik kinerja seseorang sesudah bekerja atau seberapa tinggi sukses yang akan dicapai. Menurut makalah Cleland tahun 1973 “Testing for Competence” bahwa “Seperangkat kecakapan khusus seperti empati, disiplin diri, dan inisiatif akan menghasilkan orang-orang yang sukses dan bintang-bintang kinerja”.
          Saat ini perusahaan-perusahaan raksasa dunia sudah menyadari akan hal ini. Mereka menyimpulkan bahwa inti kemampuan pribadi dan sosial yang merupakan kunci utama keberhasilan seseorang, adalah kecerdasan emosi.
         


KECERDASAN SPIRITUAL-SQ

          Danah Zohar dan Ian Marshall mendefinisikan kecerdasan spiritual adalah kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value,  yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang diperlukan untuk mengfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi kita (Danah Zohar dan Ian Marshall, SQ: Spiritual Intelegence, Bloomsbury, Great Britain).
          Sedangkan di dalam ESQ, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola pemikiran  tauhid, serta berprinsip  “hanya karena Allah”. Sebagai contoh, seorang bekerja di sebuah perusahaan otomotif sebagai buruh. Tugasnya memasang dan mengencangkan  baut pada jok pengemudi mobil. Itulah tugas rutin yang sudah dikerjakannya selama hampir sepuluh tahun. Karena pendidikannya hanya setingkat SLTP, maka sulit baginya untuk meraih posisi puncak. Ketika ditanya bahwa bukankah itu suatu pekerjaan yang sangat membosankan, dia menjawab dengan tersenyum, “Tidakkah ini suatu pekerjaan mulia,, saya telah menyelamatkan ribuan orang yang mengemudikan mobil-mobil ini?, saya mengeratkan kuat-kuat kursi pengemudi yang mereka duduki, sehingga mereka sekeluarga selamat”.
          Pakar EQ, Goleman berpendapat bahwa meningkatkan kualitas kecerdasan emosi sangat berbeda dengan IQ. IQ umumnya tidak berubah selama kita hidup. Sementara kemampuan yang murni kognitif relatif tidak berubah (IQ), maka kecakapan emosi dapat dipelajari kapan saja. Tidak peduli orang itu peka atau tidak, pemalu, pemarah, atau sulit bergaul dengan orang lain sekalipun, dengan motivasi dan usaha yang benar, kita dapat mempelajari dan menguasai kecakapan emosi tersebut.  Tidak seperti IQ. Kecerdasan emosi ini dapat meningkat dan terus ditingkatkan sepanjang kita hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

CABUT GIGI DAN KEBUTAAN

Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Hati-hati kalau mau cabut gigi, nanti bisa buta,  lho !” Apa sebenarnya tindakan pencabutan ...