Rabu, 22 November 2017

HUKUM MEMBACA AL-QUR'AN BAGI WANITA HAID DAN MENGGUNAKAN HANDPHONE







Para ulama berbeda pendapat tentang apakah wanita yang haid boleh membaca Al-Quran atau tidak? Dan yang kuat –wallahu a’lam- diperbolehkan bagi wanita yang sedang haid untuk membaca Al-Quran karena tidak adanya dalil yang shahih yang melarang.
Bahkan dalil menunjukkan bahwa wanita yang haid boleh membaca Al-Quran, diantaranya sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada Aisyah radhiyallahu ‘anha yang akan melakukan umrah akan tetapi datang haid:
ثم حجي واصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي بالبيت ولا تصلي
“Kemudian berhajilah, dan lakukan apa yang dilakukan oleh orang yang berhaji kecuali thawaf dan shalat.” (HR.Al-Bukhary dan Muslim, dari Jabir bin Abdillah)
Berkata Syeikh Al-Albany:
فيه دليل على جواز قراءة الحائض للقرآن لأنها بلا ريب من أفضل أعمال الحج وقد أباح لها أعمال الحاج كلها سوى الطواف والصلاة ولو كان يحرم عليها التلاوة أيضا لبين لها كما بين لها حكم الصلاة بل التلاوة أولى بالبيان لأنه لا نص على تحريمها عليها ولا إجماع بخلاف الصلاة فإذا نهاها عنها وسكت عن التلاوة دل ذلك على جوازها لها لأنه تأخير البيان عن وقت الحاجة لا يجوز كما هو مقرر في علم الأصول وهذا بين لا يخفى والحمد لله
“Hadist ini menunjukkan bolehnya wanita yang haid membaca Al-Quran, karena membaca Al-Quran termasuk amalan yang paling utama dalam ibadah haji, dan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah membolehkan bagi Aisyah semua amalan kecuali thawaf dan shalat, dan seandainya haram baginya membaca Al-Quran tentunya akan beliau terangkan sebagaimana beliau menerangkan hukum shalat (ketika haid), bahkan hukum membaca Al-Quran (ketika haid) lebih berhak untuk diterangkan karena tidak adanya nash dan ijma’ yang mengharamkan, berbeda dengan hukum shalat (ketika haid). Kalau beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang Aisyah dari shalat (ketika haid) dan tidak berbicara tentang hukum membaca Al-Quran (ketika haid) ini menunjukkan bahwa membaca Al-Quran ketika haid diperbolehkan, karena mengakhirkan keterangan ketika diperlukan tidak diperbolehkan, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh, dan ini jelas tidak samar lagi, walhamdu lillah.” (Hajjatun Nabi hal:69).
Namun jika orang yang berhadats kecil dan wanita haid ingin membaca Al-Quran maka dilarang menyentuh mushhaf atau bagian dari mushhaf, dan ini adalah pendapat empat madzhab, Hanafiyyah (Al-Mabsuth 3/152), Malikiyyah (Mukhtashar Al-Khalil hal: 17-18), Syafi’iyyah (Al-Majmu’ 2/67), Hanabilah (Al-Mughny 1/137).
Mereka berdalil dengan firman Allah ta’alaa:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ (الواقعة: 79)
“Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang suci.” 
Sebagian ulama mengatakan bahwa yang dimaksud dengan mushaf yang kita dilarang menyentuhnya adalah termasuk kulitnya/sampulnya karena dia masih menempel. Adapun memegang mushhaf dengan sesuatu yang tidak menempel dengan mushhaf (seperti kaos tangan dan yang sejenisnya) maka diperbolehkan.
Berkata Syeikh Bin Baz:
يجوز للحائض والنفساء قراءة القرآن في أصح قولي العلماء ؛ لعدم ثبوت ما يدل على النهي عن ذلك بدون مس المصحف، ولهما أن يمسكاه بحائل كثوب طاهر ونحوه، وهكذا الورقة التي كتب فيها القرآن عند الحاجة إلى ذلك
“Boleh bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Quran menurut pendapat yang lebih shahih dari 2 pendapat ulama, karena tidak ada dalil yang melarang, namun tidak boleh menyentuh mushhaf, dan boleh memegangnya dengan penghalang seperti kain yang bersih atau selainnya, dan boleh juga memegang kertas yang ada tulisan Al-Quran (dengan menggunakan penghalang) ketika diperlukan” (Fatawa Syeikh Bin Baz 24/344).
Berikut ada solusi yang baik untuk para wanita ketika menghadapi masalah ini :
1- Membaca mushaf saat haidh namun tidak menyentuh secara langsung
Membaca masih dibolehkan bagi wanita yang berhadats. Yang tidak dibolehkan adalah menyentuh langsung saat berhadats.
Dalil yang menunjukkan larangan untuk menyentuhnya adalah ayat,
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan” (QS. Al Waqi’ah: 79)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَمُسُّ القُرْآن إِلاَّ وَأَنْتَ طَاهِرٌ
Tidak boleh menyentuh Al Qur’an kecuali engkau dalam keadaan suci.” (HR. Al Hakim dalam Al Mustadroknya, beliau mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih). Dalam keadaan suci di sini bisa berarti suci dari hadats besar dan hadats kecil. Haidh dan nifas termasuk dalam hadats besar.
Jika dilarang menyentuh Al Quran dalam keadaan haidh, lalu bagaimana dengan membaca?
Solusinya dijelaskan oleh Syaikh Ibnu Baz rahimahullah di mana beliau berkata, “Diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya (bisa juga dengan sarung tangan, pen). Demikian pula untuk menulis Al Qur’an di kertas ketika hajat (dibutuhkan), maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 10: 209-210)
Adapun hadits yang menyebutkan,
لا تقرأ الحائض ولا الجنب شيئاً من القرآن
Tidak boleh membaca Al Qur’an sedikit pun juga bagi wanita haidh dan orang yang junub.” Imam Ahmad telah membicarakan hadits ini sebagaimana anaknya menanyakannya pada beliau lalu dinukil oleh Al ‘Aqili dalam Adh Dhu’afa’ (90), “Hadits ini batil. Isma’il bin ‘Iyas mengingkarinya.” Abu Hatim juga telah menyatakan hal yang sama sebagaimana dinukil oleh anaknya dalam Al ‘Ilal (1/49). Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Fatawanya (21/460), “Hadits ini adalah hadits dho’if sebagaimana kesepakatan para ulama pakar hadits.”
Ibnu Taimiyah mengatakan, “Hadits di atas tidak diketahui sanadnya sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hadits ini sama sekali tidak disampaikan oleh Ibnu ‘Umar, tidak pula Nafi’, tidak pula dari Musa bin ‘Uqbah, yang di mana sudah sangat ma’ruf banyak hadits dinukil dari mereka. Para wanita di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga sudang seringkali mengalami haidh, seandainya terlarangnya membaca Al Qur’an bagi wanita haidh atau nifas sebagaimana larangan shalat dan puasa bagi mereka, maka tentu saja Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menerangkan hal ini pada umatnya. Begitu pula para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengetahuinya dari beliau. Tentu saja hal ini akan dinukil di tengah-tengah manusia (para sahabat). Ketika tidak ada satu pun yang menukil larangan ini dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tentu saja membaca Al Qur’an bagi mereka tidak bisa dikatakan haram. Karena senyatanya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melarang hal ini. Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri tidak melarangnya padahal begitu sering ada kasus haidh di masa itu, maka tentu saja hal ini tidaklah diharamkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 26: 191)
2- Membaca Al Quran terjemahan
Kalau di atas disebut mushaf berarti seluruhnya berisi ayat Al Quran tanpa ada terjemahan. Namun kalau yang dibaca adalah Al Quran terjemahan, itu tidak termasuk mushaf.
Imam Nawawi rahimahullah dalam Al Majmu’ mengatakan, “Jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.”
Jika yang disentuh adalah Al Qur’an terjemahan dalam bahasa non Arab, maka itu tidak disebut mushaf yang disyaratkan dalam hadits mesti menyentuhnya dalam keadaan suci. Namun kitab atau buku seperti itu disebut tafsir sebagaimana ditegaskan oleh ulama Malikiyah. Oleh karena itu tidak mengapa menyentuh Al Qur’an terjemahan seperti itu karena hukumnya sama dengan menyentuh kitab tafsir. Akan tetapi, jika isi Al Qur’annya lebih banyak atau sama banyaknya dari kajian terjemahan, maka seharusnya tidak disentuh dalam keadaan berhadats.
Masalah Menyentuh Handphone yang Terdapat Aplikasi Al Qur’an

Syaikh Prof. Dr. Kholid Al Musyaiqih -semoga Allah senantiasa menjaga dan memberkahi umur beliau- menjelaskan, “Handphone yang memiliki aplikasi Al Qur’an atau berupa softfile, tidak dihukumi seperti hukum mushaf Al Qur’an (di mana harus dalam keadaan bersuci ketika ingin menyentuhnya, -pen). Handphone seperti ini boleh disentuh meskipun tidak dalam keadaan thoharoh (bersuci). Begitu pula HP ini bisa dibawa masuk ke dalam kamar mandi karena aplikasi Al Qur’an di dalamnya tidaklah seperti mushaf. Ia hanya berupa aplikasi yang ketika dibuka barulah nampak huruf-hurufnya, ditambah dengan suara jika di-play. Aplikasi Qur’an tersebut akan tampak, namun jika beralih ke aplikasi lainnya, ia akan tertutup. Yang jelas aplikasi tersebut tidak terus ON (ada atau nyala). Bahkan dalam HP tersebut bukan hanya ada aplikasi Qur’an saja, namun juga aplikasi lainnya.

Ringkasnya, HP tersebut dihukumi seperti mushaf ketika aplikasinya dibuka dan ayat-ayat Qur’an terlihat. Namun lebih hati-hatinya, aplikasi Qur’an dalam HP tersebut tidak disentuh dalam keadaan tidak suci, cukup menyentuh bagian pinggir HP-nya saja. Wallahu a’lam.”(Fiqh An Nawazil, hal. 76)




Semoga sajian singkat ini bermanfaat. 
Wallahul muwaffiq.
Wallahu a’lam.

Oleh : Ustadz Abdullah Roy, Lc. dan Ustadz Muhammad Abduh Tuasikal Hafizahullah.

Minggu, 12 November 2017

CARA MENGATASI GALAU MENURUT ISLAM





Bagaimana cara mengatasi galau? Soalnya ini penyakitnya para remaja.
Jawab:
Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,
Sebelumnya mohon maaf, sebenarnya kami kesulitan memahami arti kata ‘galau’. Banyak orang sering menggunakannya, namun terkadang mereka kesulitan menyebutkan batasannya. Kami mencoba googling, ketemu beberapa keterangan unik tentang galau.
Ada yang bilang, “galau itu adalah perasaan kacau dalam hati, bingung harus memilih, bisa juga ragu-ragu.”
Ada juga yang bilang, “Galau itu ketika orang itu tengah kosong, dan itu berasal dari hati.”
Ada yang mengatakan, “Perasaan kacau gara-gara cinta.”
Jika kita merujuk pada KBBI, galau diartikan dengan kacau, tidak karuan.
Menyimak banyak definisi malah bikin kita galau untuk memahami kata galau. Tapi pada intinya kita bisa menyimpulkan, galau adalah perasaan kacau, karena memikirkan masa depan atau bingung menentukan pilihan.

Obsesi Manusia

Bagian dari karakter manusia, mereka memiliki obsesi dan harapan. Dan karena karakternya yang tamak, obsesi itu selalu berkembang. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَوْ كَانَ لاِبْنِ آدَمَ وَادِيَانِ مِنْ مَالٍ لاَبْتَغَى ثَالِثًا ، وَلاَ يَمْلأُ جَوْفَ ابْنِ آدَمَ إِلاَّ التُّرَابُ
Jika manusia memiliki dua lembah penuh dengan harta, pasti dia akan mencari lembah harta ketiga. Tidak ada yang bisa memenuhi perut anak Adam, selain tanah. (HR. Bukhari 6436 & Muslim 2462)
Tidak ada yang bisa menghentikan manusia untuk selalu mengejar obsesinya, selain kematian.
Anda bisa perhatikan gambar berikut,
obat galau
Sahabat Ibnu Mas’ud pernah menceritakan penjelasan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang karakter manusia,
خَطَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَطًّا مُرَبَّعًا، وَخَطَّ خَطًّا فِي الْوَسَطِ خَارِجًا مِنْهُ، وَخَطَّ خُطَطًا صِغَارًا إِلَى هَذَا الَّذِي فِي الْوَسَطِ مِنْ جَانِبِهِ الَّذِي فِي الْوَسَطِ، وَقَالَ: هَذَا الْإِنْسَانُ، وَهَذَا أَجَلُهُ مُحِيطٌ بِهِ، أَوْ قَدْ أَحَاطَ بِهِ، وَهَذَا الَّذِي هُوَ خَارِجٌ أَمَلُهُ، وَهَذِهِ الْخُطَطُ الصِّغَارُ الْأَعْرَاضُ، فَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا، وَإِنْ أَخْطَأَهُ هَذَا نَهَشَهُ هَذَا
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah membuat bangun segi empat, lalu beliau membuat garis lurus di tengahnya yang menembus bangun segi empat itu. Kemudian beliau membuat garis kecil-kecil menyamping diantara garis tengah itu. Lalu beliau bersabda,
“Ini manusia. Dan ini ajalnya, mengelilinginya. Dan garis yang menembus bangun ini adalah obsesinya. Sementara garis kecil-kecil ini adalah rintangan hidup. Jika dia berhasil mengatasi rintangan pertama, dia akan tersangkut rintangan kedua. Jika dia berhasil lolos rintangan kedua, dia tersangkut rintangan berikutnya.” (HR. Bukhari 6417).
Pelajaran hadis,
Bahwa sejatinya semua manusia mengalami galau, karena tidak ada satupun manusia yang tahu masa depannya. Sementara mereka semua berharap bisa mendapatkan cita-citanya. Allah berfirman,
وَمَا تَدْرِي نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا
“Tidak ada satupun jiwa yang mengetahui apa yang akan dia kerjakan besok.” (QS. Luqman: 34)
Pelajaran lain, bahwa kita selalu memikirkan obasesi yang belum pasti, namun kita sering melupakan sesuatu yang pasti, yaitu kematian.
Karena itu, semata mengalami galau, pikiran kacau, bingung dalam menentukan arah hidup, bukanlah kesalahan. Hampir semua manusia mengalaminya. Yang lebih penting adalah mengatasi kondisi galau, sehingga tidak sampai menyeret kita kepada jurang maksiat.
Ada beberapa saran yang bisa kita lakukan, untuk mengurangi rasa galau,
Pertama, Sibukkan Diri dengan Semua yang Bermanfaat
Secara garis besar, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memberikan panduan, agar manusia selalu maju menuju lebih baik dalam menghadapi hidup.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
اِحْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ, وَاسْتَعِنْ بِاَللَّهِ, وَلَا تَعْجَزْ, وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلَا تَقُلْ: لَوْ أَنِّي فَعَلْتُ كَانَ كَذَا وَكَذَا, وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اَللَّهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ; فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ اَلشَّيْطَانِ
Bersemangatlah untuk mendapatkan apa yang manfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, dan jangan lemah. Jika kalian mengalami kegagalan, jangan ucapkan, ‘Andai tadi saya melakukan cara ini, harusnya akan terjadi ini…dst.’ Namun ucapkanlah, ‘Ini taqdir Allah, dan apa saja yang dia kehendaki pasti terjadi.’ Karena berandai-andai membuka peluang setan. (HR. Ahmad 9026, Muslim 6945, Ibn Hibban 5721, dan yang lainnya).
Mari kita kupas setiap bagian dalam hadis di atas,
Pertama, sibukkan diri untuk selalu mengerjakan yang manfaat. Beliau memberikan batasan, artinya, ini berlaku baik untuk manfaat dunia maupun akhirat. Karena ketika kita sibuk dengan  segala yang bermanfaat, kita tidak memiliki waktu luang untuk melakukan perbuatan yang tidak manfaat, apalagi berbahaya.
Ibnul Qoyim mengatakan,
من أعظم الأشياء ضرراً على العبد بطالته وفراغه، فإن النفس لا تقعد فارغة، بل إن لم يشغلها بما ينفعها شغلته بما يضره ولا بد
Bahaya terbesar yang dialami seorang hamba, adalah adanya waktu nganggur dan waktu luang. Karena jiwa tidak akan pernah diam. Ketika dia tidak disibukkan dengan yang manfaat, pasti dia akan sibuk dengan hal yang membahayakannya. (Thariq al-Hijratain, hlm. 413)
Seorang mukmin tidak perlu merasa kesulitan untuk mencari apa yang manfaat baginya. Karena semua yang ada di sekitarnya, bisa menjadi kegiatan yang bermanfaat baginya. Jika dia belum bisa melakukan kegiatan yang manfaatnya luas, dia bisa awali dengan kegiatan yang manfaatnya terbatas. Setidaknya dia gerakkan lisannya untuk berdzikir atau membaca al-Quran. Atau berusaha menghafal al-Quran atau membaca buku yang bermanfaat.
Tidak ada istilah nganggur bagi seorang mukmin. Karena setiap mukmin selalu sibuk dengan semua kegiatan yang manfaat.
Ibnu Mas’ud mengatakan,
إني لأمقت أن أرى الرجل فارغا لا في عمل دنيا ولا آخرة
Sungguh aku marah kepada orang yang nganggur. Tidak melakukan amal dunia maupu amal akhirat. (HR. Thabrani dalam Mu’jam al-Kabir, 8539).
Kedua, jangan lupa diiringi dengan doa
Inilah kelebihan orang mukmin yng tidak dimiliki selain mukmin. Setiap mukmin memiliki kedekatan hati dengan Rabnya. Karena mereka memiliki harapan di sisi Rabnya, yang ini tidak dimiliki oleh orang kafir.
mintalah pertolongan kepada Allah
Mengingatkan agar kita tidak hanya bersandar dengan kerja yang kita lakukan, tetapi harus diiringi dengan tawakkal kepada Allah. Karena keberhasilan tidak mungkin bisa kita raih, tanpa pertolongan dari Allah.
Ketiga, jangan merasa lemah
Dalam melakukan hal yang terbaik dalam hidup, bisa dipastikan, kita akan mengalami rintangan. Seorang mukmin, rintangan bukan sebab untuk putus asa. Karena dia paham, rintangan pasti di sepanjang perjalanan hidupnya.
Kedua, Hindari Panjang Angan-angan
Terlalu ambisius menjadi orang sukses, memperparah kondisi galau yang dialami manusia. Dia berangan-angan panjang, hingga terbuai dalam bayangan kosong tanpa makna. Karena itulah, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat mencela panjang angan-angan.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَزَالُ قَلْبُ الْكَبِيرِ شَابًّا فِى اثْنَتَيْنِ فِى حُبِّ الدُّنْيَا ، وَطُولِ الأَمَلِ
Hati orang tua akan seperti anak muda dalam dua hal: dalam cinta dunia dan panjang angan-angan. (HR. Bukhari 6420)
Ali bin Abi Thalib mengatakan,
إنّ أخوف ما أخاف عليكم اتّباع الهوى وطول الأمل، فأمّا اتّباع الهوى فيصدّ عن الحقّ، وأمّا طول الأمل فينسي الآخرة. ألا وإنّ الدّنيا ارتحلت مدبرة
“Yang paling aku takutkan menimpa kalian adalah menikuti hawa nafsu dan panjang angan-angan. Mengikuti hawa nafsu bisa menjadi penghalang untuk memihak kebenaran. Panjang angan-angan bisa melupakan akhirat. Ketahuilah bahwa dunia akan berlalu.
Ketiga, Jangan Merasa Didzalimi Taqdir
Ketika anda merasa lebih gagal dibandingkan teman anda,
ketika anda  merasa lebih miskin dibandingkan rekan anda,
Ketika anda terkatung-katung di dunia kuliah, sementara teman anda telah sukses di dunia kerja dan keluarga,
Anda tidak perlu berduka, karena duka anda tidak akan mengubah nasib anda. Yang lebih penting kendalikan hati agar tidak hasad dan dengki. Anda perlu mengingat hadis ini,
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, Rasullullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
انْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلا تَنْظُرُوا إِلَى مَنْ هُوَ فَوْقَكُمْ فَإِنَّهُ أَجْدَرُ أَنْ لا تَزْدَرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ
Perhatikanlah orang yang lebih rendah keadaannya dari pada kalian, dan jangan perhatikan orang yang lebih sukses dibandingkan kalian. Karena ini cara paling efektif, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah bagi kalian. (HR. Ahmad 7657, Turmudzi 2703, dan Ibn Majah 4142)
Ketika anda melihat ada orang kafir yang bergelimang nikmat, anda perlu ingat bahwa nikmat iman yang anda miliki.
Ketika anda melihat orang muslim ahli maksiat lebih sukses, anda perlu ingat, Allah lebih mengunggulkan anda dengan taat.
Keempat, Jangan Lupakan Doa Memohon Kebaikan Dunia dan Akhirat
Diantara doa yang bisa anda rutinkan,
اللَّهُمَّ أَصْلِحْ لِي دِينِي الَّذِي هُوَ عِصْمَةُ أَمْرِي وَأَصْلِحْ لِي دُنْيَايَ الَّتِي فِيهَا مَعَاشِي وَأَصْلِحْ لِي آخِرَتِي الَّتِي فِيهَا مَعَادِي وَاجْعَلِ الْحَيَاةَ زِيَادَةً لِي فِي كُلِّ خَيْرٍ وَاجْعَلِ الْمَوْتَ رَاحَةً لِي مِنْ كُلِّ شَرٍّ
Ya Allah ya Tuhanku, perbaikilah bagiku agamaku sebagai benteng urusanku; perbaikilah bagiku duniaku yang menjadi tempat kehidupanku; perbaikilah bagiku akhiratku yang menjadi tempat kembaliku! Jadikanlah ya Allah kehidupan ini mempunyai nilai tambah bagiku dalam segala kebaikan dan jadikanlah kematianku sebagai kebebasanku dari segala kejahatan. (HR. Muslim no. 2720).
Semoga Allah selalu membimbing kita untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Amin
Allahu a’lam.
Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)

Rabu, 08 November 2017

PENJELASAN DAN CARA AGAR ISTIQOMAH SECARA UMUM



Di antara perkara yang banyak ditanyakan masyarakat kepada ulama, para penuntut ilmu syar’i, dan para da’i adalah tentang masalah istiqamah (meniti jalan yang lurus), dan perkara-perkara yang dapat membantu seseorang untuk dapat tetap tegar meniti jalan Allah yang lurus (As-Shiratul Mustaqim). Sesungguhnya pembahasan istiqamah adalah pembahasan yang sangat penting, dan ajaran yang agung, layak bagi setiap muslim dan muslimah untuk memperhatikannya dengan perhatian yang besar. Allah Ta’ala berfirman,

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ. نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ. نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ.

Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan, ‘Tuhan kami adalah Allah.’ Kemudian mereka istiqamah, maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan, ‘Janganlah kalian takut dan janganlah merasa sedih, dan bergembiralah dengan surga yang telah dijanjikan Allah kepada kalian. Kami adalah pelindung-pelindung kalian dalam kehidupan dunia dan akhirat, di dalamnya kalian memperoleh apa yang kalian inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kalian minta. Sebagai hidangan (bagi kalian) dari Tuhan Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Fushshilat: 30-32).

Istiqamah dengan meniti jalan Allah Ta’ala yang lurus, membuahkan akibat yang baik dan buah manis berupa kebahagiaan di dunia dan akhirat, keberuntungan yang hakiki, dan kebaikan seluruh urusan seorang hamba. Maka selayaknyalah seseorang yang menginginkan kebahagiaan, keselamatan, dan kebaikan di dunia dan akherat memperhatikan masalah istiqamah ini dengan sungguh-sungguh, baik dengan mempelajarinya, mengamalkan tuntutannya, maupun menjaga agar tetap istiqamah sampai meninggal dunia, dengan terus menerus hati bersandar kepada Allah Ta’ala semata.

Ada sepuluh penjelasan seputar kiat-kiat istiqamah diringkas dari buku Asyru Qowa’id fil Istiqamah yang ditulis oleh Syaikh Abdur Razzaq Al-Badr hafizhahullah. Dalam buku tersebut, sang penulis hafizhahullah memaparkan dengan indah, singkat, dan jelas tentang pengertian istiqamah, dan kiat-kiat agar seseorang mampu untuk istiqamah di dalam hidupnya. Syaikh Abdur Razzaq Al-Badrhafizhahullah yang kini telah meraih gelar profesor doktor tersebut, menyebutkan sepuluh bab tentang istiqamah. Kendati buku ini tergolong buku yang tipis (kutaib), namun dengan taufik Allah sang penulis berhasil menjelaskan masalah istiqamah dengan baik melalui 10 bab tersebut, yaitu:
  1. Istiqamah adalah anugerah dari Allah Ta’ala.
  2. Hakikat istiqamah adalah meniti jalan yang lurus (Islam).
  3. Dasar istiqamah adalah keistiqamahan hati.
  4. Istiqamah yang tertuntut adalah sesuai Sunnah, apabila tidak mampu, maka mendekatinya.
  5. Istiqamah terkait dengan ucapan, perbuatan, dan niat.
  6. Istiqamah tidak terwujud kecuali dengan ikhlas karena Allah, dan dengan pertolongan Allah, serta sesuai dengan perintah Allah.
  7. Seorang hamba, meski bagaimanapun ketinggian tingkat istiqamahnya, maka ia tidak boleh bersandar kepada amalnya.
  8. Buah istiqamah di dunia adalah istiqamah di atas jembatan (Ash-Shiroth) pada hari kiamat.
  9. Penghalang istiqamah adalah syubhat yang menyesatkan, atau syahwat yang menggelincirkan.
  10. Tasyabbuh (meniru) orang kafir termasuk penghalang istiqamah terbesar.
PENGERTIAN ISTIQOMAH
Beratnya perintah beristiqomah dapat dimengerti melalui definisi beberapa ulama berikut ini :

1. Abu Bakr Ash-Shiddîq Radhiyallahu anhu ketika menafsirkan (tsummas-taqâmû): “Tidak berbuat syirik terhadap Allâh Azza wa Jalla dengan segala apapun.”[3]
2. ‘Umar bin Khaththâb Radhiyallahu anhu : “Istiqâmah adalah lurus pada ketaatan (melaksanakan perintah) dan menjauhi larangan, serta tidak belok (ke kiri dan ke kanan) seperti beloknya serigala.” [4]
3. Abul-Qâsim al-Qusyairi rahimahullah : “Istiqâmah adalah suatu derajat yang dengannya segala urusan (agama) menjadi sempurna dan dengannya akan didapatkan kebaikan-kebaikan dan keteraturan.” [5]
4. An-Nawawi rahimahullah : “Lurus di atas ketaatan sampai diwafatkan dengan keadaan seperti itu.”[6]
5. Ibnu Rajab al-Hambali rahimahullah : “Menapaki jalan yang lurus, yaitu agama yang lurus, tanpa berbelok-belok ke kanan dan ke kiri. Termasuk di dalamnya adalah mengerjakan seluruh perbuatan taat, secara lahir dan batin dan meninggalkan seluruh larangan seperti itu pula.”[7]
HAKEKAT ISTIQOMAH
Dari definisi-definisi (pengertian-pengertian) di atas kita bisa menarik kesimpulan bahwa hakekat istiqâmah meliputi hal-hal berikut:

1. Mentauhidkan Allâh Azza wa Jalla dan tidak berbuat syirik
2. Berjalan di atas kebenaran (agama yang haq).
3. Melaksanakan segala perintah, baik yang wâjib maupun yang sunnah, secara lahir dan batin.
4. Meninggalkan segala larangan, baik yang haram maupun yang makrûh.
5. Teratur dalam mengerjakan ketaatan.
6. Terus-menerus dalam keadaan seperti itu, tidak belok ke kanan maupun ke kiri sampai ajal menjemput.

Dan sekali lagi sebagai penekanan, tampak jelas sulit dan beratnya beristiqomah yang terwujud dengan melakukan ketaatan kepada Allâh Azza wa Jalla secara kontinyu, padahal manusia mengalami pasang-surut keimanan dan menghadapi berbagai macam fitnah duniawi yang sangat berpotensi melunturkan semangat beristiqomah.
KEUTAMAAN ORANG YANG BERISTIQOMAH
Keutamaan orang yang bisa ber-istiqâmah sangat banyak sekali. Akan tetapi, secara umum keutamaan tersebut tercantum pada tiga ayat berikut:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ﴿٣٠﴾نَحْنُ أَوْلِيَاؤُكُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ ۖ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَشْتَهِي أَنْفُسُكُمْ وَلَكُمْ فِيهَا مَا تَدَّعُونَ﴿٣١﴾نُزُلًا مِنْ غَفُورٍ رَحِيمٍ
Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allâh” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: “Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih; dan gembirakanlah mereka dengan Jannah yang telah dijanjikan oleh Allâh kepadamu. Kamilah pelindung-pelindungmu dalam kehidupan dunia dan akhirat; di dalamnya kamu memperoleh apa yang kamu inginkan dan memperoleh (pula) di dalamnya apa yang kamu minta. Sebagai hidangan (bagimu) dari (Rabb) yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [Fushshilat/41:30-32]
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata [8] , “…Oleh karena itu, agama (Islam) seluruhnya terkandung dalam firman Allâh[9] : { فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ } dan
firman-Nya [10] : { إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ }

Sungguh besar keutamaan istiqomah!
SEBAB SEBAB AGAR DAPAT MEWUJUDKAN ISTIQOMAH
Seseorang bisa ber-istiqâmah karena sebab-sebab sebagai berikut:

1. Taufik Dan Hidayah Dari Allâh Azza Wa Jalla
Inilah sebab yang paling utama. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

فَمَنْ يُرِدِ اللَّهُ أَنْ يَهْدِيَهُ يَشْرَحْ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَامِ ۖ وَمَنْ يُرِدْ أَنْ يُضِلَّهُ يَجْعَلْ صَدْرَهُ ضَيِّقًا حَرَجًا كَأَنَّمَا يَصَّعَّدُ فِي السَّمَاءِ
Barangsiapa yang Allâh menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk Islam. Dan barangsiapa yang dikehendaki oleh Allâh kesesatannya, niscaya Allâh akan menjadikan dadanya sesak lagi sempit, seolah-olah ia sedang mendaki langit [al-An’âm/6:125]
Oleh karena itu, sebisa mungkin kita melakukan berbagai hal yang dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla agar Allâh Azza wa Jalla memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita.
2. Doa
Allâh Azza wa Jalla mengabulkan doa para hamba-Nya. Oleh karena itu, jika seseorang menginginkan istiqomah, maka ia harus banyak memohon kepada Allâh Azza wa Jalla agar bisa menjadi seorang yang mustaqîm (orang yang beristiqomah). Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ ۖ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku [al-Baqarah/2: 186]
3. Mengikuti Manhaj Ahlu Sunnah Wal Jamâ’ah
Niat ikhlash dan rajin beribadah saja tidaklah cukup untuk bisa beristiqomah. Seseorang yang ingin ber-istiqâmah harus berjalan di jalan yang haq. Jika tidak demikian, percuma saja dia beristiqomah pada kesesatan yang justru nantinya akan menjerumuskannya ke dalam api neraka. Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mengabarkan bahwa hanya ada satu kelompok yang senantiasa mengemban kebenarannya, sebagaimana sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam :

لاَ تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِى ظَاهِرِينَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِىَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ كَذَلِكَ
Senantiasa ada sekelompok orang di kalangan umatku yang selalu tampak dengan kebenarannya. Orang yang tidak mengacuhkan mereka tidak dapat memberikan mudhârat kepada mereka sampai datang perkara Allâh dan mereka tetap dengan kebenarannya [11]
4. Sering Melakukan Proses Muhâsabatun Nafs (Mengintrospeksi Diri)
Orang yang ingin beristiqomah harus sering menjalankan proses muhasabatun nafs. Jika seseorang tidak menyadari akan hakikat apa yang dilakukannya yang berupa kebaikan dan dosa, maka dia tidak akan mau berubah. Semakin banyak seseorang berintrospeksi, maka semakin banyak pula ia akan menyadari bahwa amalan kebaikan yang dia lakukan belumlah seberapa dan dosa yang dilakukannya sudah sangat banyak dan bertumpuk-tumpuk.

‘Umar Radhiyallahu anhu berkata:
حاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا وَزِنُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْل أَنْ تُوزَنُوا ، فَإنَّهُ أَهْوَنُ عَلَيْكُمْ فِيْ الْحِسَابِ غَدًا، أَنْ تُحَاسَبُوْا أَنْفُسَكُمْ اْليَوْمَ
Introspeksilah diri-diri kalian, sebelum nanti kalian ditunjukkan amalan-amalan kalian (di hari Perhitungan)! Timbang-timbanglah diri kalian, sebelum nanti kalian ditimbang (di hari mizan/penimbangan amal)! Sesungguhnya, mengintrospeksi diri pada saat ini lebih mudah ketimbang nanti ditunjukkan amalan-amalan (di hari Hisab).”[12]
5. Mengerjakan Perbuatan Baik Setelah Mengerjakan Perbuatan Buruk
Salah satu sebab datangnya istiqomah mengiringi segala keburukan/kejelekan/dosa dengan perbuatan yang baik. Sebagai contoh, jika seseorang pernah mencuri, maka dia harus bertaubat dan mengembalikan harta curiannya itu, kemudian memperbanyak sedekah. Mudah-mudahan dengan bersedekah, dosa-dosanya dapat diampuni oleh Allâh Azza wa Jalla berfirman:

إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk
[Hûd/11:114]

6. Tidak Meninggalkan Amalan-Amalan Kebaikan Yang Sudah Biasa Dikerjakan
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallampernah mencela orang yang pernah beribadah dengan amalan tertentu kemudian orang tersebut meninggalkannya, sebagaimana diterangkan pada hadîts berikut:

عن عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ -رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُمَا- قَالَ : قَالَ لِي رَسُولُ اللهِ -صلى الله عليه وسلم- : يَا عَبْدَ اللهِ لاَ تَكُنْ مِثْلَ فُلاَنٍ كَانَ يَقُومُ اللَّيْلَ فَتَرَكَ قِيَامَ اللَّيْلِ.
Diriwayatkan dari ‘Abdullâh bin ‘Amr bin Al-‘Ash Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamberkata kepadaku, “Wahai ‘Abdullâh! Janganlah kamu seperti si Fulan (si Anu), dulu dia mengerjakan shalat malam kemudian dia meninggalkannya.”[13]
Perlu menjadi catatan, bahwa yang menjadi tuntutan adalah kebersinambungan dalam mengerjakan suatu amalan, meskipun amalan itu sedikit, bukan kuantitasnya.
PENTINGNYA MUJAHADATUN-NAFS DALAM MENGGAPAI ISTIQOMAH
Istiqomah bukanlah suatu perkara yang mudah diraih. Untuk menggapainya, menjalankan mujâhadatun-nafs tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memegang peranan penting dalam pembentukan kepribadian yang selalu istiqomah. Mujâhadatun-nafs adalah proses memaksa, melatih diri dan berjuang sekuat tenaga agar jiwa bisa selalu tunduk dan taat terhadap syariat. Mujâhadatun-nafs dapat dilakukan dengan harus memperhatikan hal-hal berikut:

1. Harus Bertekad Kuat Untuk Merubah Diri (al-‘Azm) Dan Bertawakkal Kepada Allâh Azza Wa Jalla
Tanpa tekad yang kuat, ke-istiqâmah-an tidak akan bisa dicapai. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allâh. Sesungguhnya Allâh menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya (QS. Ali ‘Imrân/2:159)
2. Mencintai Allâh Dan Rasul-Nya Melebihi Segala Sesuatu
Salah satu cara menumbuhkan tekad untuk beristiqomah adalah dengan terus-menerus mencari sebab agar bisa mencintai Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya n di atas segala sesuatu. – Istiqomah sangat erat kaitannya dengan keimananan seseorang. Oleh karena itu, Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ: أَنْ يَكُونَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا, وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ, وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِي الْكُفْرِ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِي النَّارِ
Ada tiga hal yang apabila ketiga hal tersebut berada pada seseorang, maka dia akan merasakan manisnya iman, yaitu: menjadikan kecintaannya kepada Allâh dan Rasul-Nya melebihi kecintaannya kepada segala sesuatu selain keduanya, mencintai seseorang yang dia tidak mencintainya kecuali karena Allâh dan membenci untuk kembali kepada kekufuran sebagaimana kebenciannya jika dia dilempar ke dalam api[14]
Dengan memiliki rasa cinta yang seperti disebutkan di atas, maka seseorang akan terus berupaya memacu dirinya untuk bisa ber-istiqâmah.
3. Mengatur Waktu Dan Aktivitas Keseharian Sebaik, Sepadat Dan Seefektif Mungkin
Seorang yang ingin beristiqomah harus benar-benar membuat jadwal kegiatannya untuk tiap hari, tiap pekan, tiap bulan dan tiap tahun. Untuk kegiatan harian, contohnya: ketika hendak melatih diri untuk shalat malam (tahajjud), maka ia mesti berusaha untuk tidur lebih awal (tidak lama setelah shalat Isyâ’) dan memasang jam alarm atau sejenisnya untuk dapat membangunkannya pada sepertiga malam terakhir.

Untuk kegiatan tiap pekan, misalnya, menargetkan pada setiap pekan ada satu hari dimana ia harus menyempatkan diri untuk berinfak kepada sekian orang, membantu orang lain dan tetangga.
Untuk kegiatan tahunan, seperti membiasakan diri untuk dapat beri’tikâf di sepuluh hari terakhir di bulan Ramadhân, sehingga dia pun telah merencanakan hari libur (cuti) dari semua aktivitasnya.
4. Melaksanakan Ibadah-Ibadah Sebaik Mungkin Seolah-Olah Ibadah Tersebut Adalah Ibadah Yang Terakhir Kali Dan Ajal Akan Menjemput
Orang yang ingin beristiqomah harus membiasakan diri ketika mengerjakan suatu ibadah tertentu, dia membayangkan bahwa seolah-olah dia tidak akan hidup lama lagi, sehingga ia akan benar-benar bersungguh-sungguh dalam beribadah dan meningkatkan kualitas ibadahnya.

5. Mengintrospeksi Diri Atas Amalan-Amalan Baik Yang Telah Ditinggalkannya Dan Terhadap Amalan-Amalan Buruk Yang Telah Dikerjakannya.
Setelah memasang target-target ibadah dan amalan-amalan, introspeksi diri setiap hari sangat dibutuhkan. Ini dilakukan agar seseorang bisa memperbaiki dirinya.

6. Turut Andil Dalam Dakwah
Setelah Allâh Azza wa Jalla menyebutkan keutamaan orang yang beristiqomah dalam surat Fushshilat yang telah dicantum di atas, Allâh Azza wa Jalla memuji orang-orang yang berdakwah. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: ‘Sesungguhnya Aku termasuk orang-orang yang menyerah diri.’? [Fushshilat/42:33]
Ini menunjukkan ada kaitan erat antara pencapaian istiqomah dengan berdakwah.
6. Rela Bersabar Untuk Melatih Diri Dan Mengekang Hawa Nafsu Selama Bertahun-Tahun
Untuk dapat beristiqomah tidaklah mudah. Kita harus rela mengekang hawa nasu kita dan terus bermujâhadah selama bertahun-tahun. Muhammad bin al-Munkadir rahimahullah berkata:

كَابَدْتُ نَفْسِيْ أَرْبَعِيْنَ سَنَةٍ حَتَّى اسْتَقَمْتُ
Saya mengekang jiwaku selama empat puluh tahun barulah saya bisa beristiqomah [15]
HAL-HAL YANG MERUSAK DAN MENGAHALANGI ISTIQOMAH
1. Setan
Allâh Azza wa Jalla berfirman:

قَالَ فَبِمَا أَغْوَيْتَنِي لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَاطَكَ الْمُسْتَقِيمَ
Iblis menjawab: ‘Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan Engkau yang lurus [al-A’râf/7:16]
2. HawaNafsu
3. Lemahnya Niat Untuk Berubah
4. Masyarakat Dan Keluarga Yang Rusak Dan Islam Yang Dianggap Asing
Masyarakat dan keluarga yang rusak/buruk dapat menghalangi seseorang untuk bisa ber-istiqâmah. Seseorang yang ingin bertobat dan ingin beristiqomah sering kali merasa tidak enak jika menyelisihi masyarakat atau keluarganya yang rusak.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamtelah mengabarkan bahwa Islam di akhir zaman akan terlihat asing dalam sabdanya:
بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيبًا وَسَيَعُودُ كَمَا بَدَأَ غَرِيبًا فَطُوبَى لِلْغُرَبَاءِ
Islam muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana munculnya. Oleh karena itu, beruntunglah orang-orang yang terasingkan [16]
Dan juga sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut :
(( طُوبَى لِلْغُرَبَاءِ ))، فَقِيلَ: مَنِ الْغُرَبَاءُ يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: (( أُنَاسٌ صَالِحُونَ فِي أُنَاسِ سُوءٍ كَثِيرٍ، مَنْ يَعْصِيهِمْ أَكْثَرُ مِمَّنْ يُطِيعُهُمْ )).
Beruntunglah orang-orang yang asing. Beliau pun ditanya, “Siapakah orang-orang yang asing itu, ya Rasûlullâh?” Beliau pun menjawab, “(Mereka adalah) orang-orang shâlih di antara orang-orang jelek/rusak yang (jumlahnya) banyak. Orang yang menyelisihi mereka lebih banyak daripada orang yang mematuhinya.”
Oleh karena itu, jika seseorang ingin menjalankan Islam dan beristiqamah, pasti akan terlihat asing. Contohnya saja cadar, generasi Salaf tidak berselisih pendapat bahwa cadar itu disyariatkan di dalam Islam, wanita bercadar lebih afdhal dari yang tidak bercadar dan para istri Nabi Shallallahu alaihi wa sallam diwajibkan memakai cadar. Pada zaman sekarang, cadar sangat terlihat asing, bahkan sebagian orang awam/tidak berilmu mengidentikkannya dengan terorisme. Parahnya, sebagian orang yang dipandang berilmu di tengah masyarakat mengeluarkan pernyataan serupa.
5. Zaman Yang Penuh Fitnah Yang Berbeda Dengan Zaman Salaf
Zaman yang kita jalani sekarang ini sangat berbeda dengan zaman generasi Salaf dahulu. Pada zaman ini, kaum Muslimin akan mendapatkan fitnah yang sangat besar. Jika seseorang ingin menjauhinya, fitnah tersebutlah yang akan datang kepadanya. Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah.

Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallambersabda:
يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ الصَّابِرُ فِيهِمْ عَلَى دِينِهِ كَالقَابِضِ عَلَى الجَمْرِ
Akan datang kepada manusia suatu masa, (ketika itu) orang yang bersabar menjalankan agamanya di antara mereka seperti orang yang memegang bara api [18] [19]
6. Tidak Adanya Orang Yang Sering Menasihati
Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamselalu memberi nasihat dan petunjuk kepada para sahabatnya, sehingga Allâh Azza wa Jalla mengatakan di dalam al-Qur’ân:

وَإِنَّكَ لَتَهْدِي إِلَىٰ صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ
Dan sesungguhnya kamu benar-benar memberi petunjuk kepada jalan yang lurus [asy-Syûrâ/42:52]
Tidak adanya seorang penasihat di suatu daerah maka itu adalah suatu musibah yang sangat besar dan bisa menghalangi seseorang untuk beristiqomah. Oleh karena itu, perlu diingatkan kepada pembaca yang di wilayahnya tidak (belum) ada kajian Islam yang shahih untuk segera mendatangkan sang penasihat, atau mendatangi kajian-kajian atau dengan cara lain agar bisa selalu mendengarkan nasehat-nasehat yang baik yang dapat menenangkan dan meneguhkan jiwa di atas kebenaran.
7. Banyak Berkecimpung Dengan Urusan Dunia
Banyak berkecimpung dengan urusan dunia juga dapat menghalangi ke-istiqâmah-an. Allâh Azza wa Jalla berfirman:

وَمَا الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا مَتَاعُ الْغُرُورِ
Dan kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan [Ali ‘Imrân/3:85]
8. Teman Yang Jelek
Tidak diragukan bahwa teman yang jelek sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Oleh karena, pilihlah teman yang baik dan soleh yang bisa mengajak kita untuk bisa beristiqomah.

9. Takut Dikatakan Sebagai Orang Yang Shaleh, Alim, Taat Atau Semisalnya
Ini juga dapat menghalangi seseorang untuk beristiqomah, terutama orang-orang yang memiliki rasa malu tinggi. Komentar masyarakat tidak perlu diperhatikan baik dalam rangka memuji atau mencemooh. Itu semua adalah ujian. Oang yang benar-benar mencintai Allâh Azza wa Jalla , tidak akan menghiraukan hal tersebut.

10. Putus Asa Dengan Rahmat Dan Pengampunan Allâh Azza Wa Jalla Sehingga Tidak Mau Bertobat
Orang yang bergelimang dengan dosa, biasanya terbesik di hatinya, “Bagaimana mungkin aku menjadi seorang yang bisa ber-istiqâmah, sedangkan aku telah bergelimang dengan dosa dan hampir tidak ada kebaikan yang pernah aku perbuat?” Ketahuilah, Allâh Azza wa Jalla Maha Pengampun dan menerima tobat hamba-hambanya. Allâh Azza wa Jalla berfirman yang artinya:

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ﴿٥٣﴾وَأَنِيبُوا إِلَىٰ رَبِّكُمْ وَأَسْلِمُوا لَهُ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ الْعَذَابُ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
Katakanlah: “Hai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allâh mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (54) Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu Kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) [az-Zumar/39:53-54]
Kesimpulan
1. Ayat yang menurut Rasûlullâh Shallallahu alaihi wa sallamsangat berat untuk dilaksanakan adalah ayat yang mengandung perintah untuk beristiqomah dalam surat Hûd.
2. Hakekat istiqomah meliputi hal-hal berikut: berada di atas kebenaran, menjalankan semua perintah, meninggalkan semua larangan, teratur dalam ketaatan dan kebersinambungan dengan keadaan seperti itu sampai akhir hayat.
3. Seseorang yang ingin beristiqomah harus menempuh cara-cara yang mengantarkan kepadanya.
4. Mujâhadatun nafs , berperan penting dalam pencapaian istiqomah
5. Banyak faktor yang mengganggu seorang Muslim untuk beristiqomah. Oleh karena itu, sebisa mungkin seorang Mukmin menjauhinya.
6. Orang yang mencapai derajat istiqomah akan mendapat ganjaran yang sangat besar sebagaimana telah disebutkan. Wallâhu a’lam

Semoga Allâh Azza wa Jalla memudahkan kita meraih nikmat istiqomah sampai akhir hayat nanti. Âmîn.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
*Staf Pengajar di Ma’had Tadrîbud-Dua’ât Al-Istiqomah dan SDIT Al-Istiqomah Prabumulih, Sum-Sel.
[1]. Digabungkan dan diringkas dari Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm 4/534, Taisîr al-Karîm ar-Rahmân hlm. 390 dan Aisar at-Tafâsir 2/193.
[2]. Lihat Tafsîr aL-Qurthubi 9/107. Akhir perkataan Ibnu ‘Abbâs semisal dengan apa yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 3297 dan yang lainnya. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 955.
[3]. Lihat Jâmi’ al-‘Ulûm wal-Hikam hal. 235.
[4]. Kitab az-Zuhd karya Imam Ahmad hal. 115 dan Ma’âlimut-Tanzîl 4/203.
[5]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[6]. Lihat Syarh Shahîh Muslim 1/199.
[7]. Jâmi’ul ‘Ulûm wal Hikam hal.236.
[8]. Lihat Tharîq Al-Hijratain wa Bab As-Sa’âdatain hal. 73.
[9]. Yaitu ayat yang kita bahas ini.
[10]. Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Tuhan kami ialah Allah” kemudian mereka meneguhkan pendirian mereka (ber-istiqâmah), tidak ada ketakutan pada diri mereka dan tidak pula mereka bersedih.” (Al-Ahqâf: 13)
[11]. HR. Muslim no. 5059.
[12]. Az-Zuhd wa ar-Raqâ’iq , Ibnul-Mubârak no. 307, al-Mushannaf , Ibnu Abi Syaibah no. 35600
[13]. HR. al-Bukhâri no. 1152.
[14]. HR. al-Bukhâri no. 16, dan Muslim 173.
[15]. Hilyatul-Auliyâ’ 3/147
[16]. HR. Muslim no. 389
[17]. HR. Ahmad no. 6650, dihasankan oleh Syaikh Syu’aib al-Arnauth
[18]. Maksudnya, di tengah malam yang sangat gelap tidak ada yang bisa dijadikan sumber penerangan kecuali bara api. Apabila dia tidak memegangnya, maka dia tidak bisa selamat di jalan yang penuh rintangan, seperti: jalan berduri atau di pegunungan yang penuh dengan tebing. Apabila dia tidak berjalan, bahaya masih juga mengancamnya, seperti: dia akan diserang binatang buas atau yang lainnya. Sehingga tidak ada pilihan lain, kecuali harus berjalan dengan membawa bara api yang nanti akan melukai tangannya.
[19]. HR. at-Tirmidzi no. 2260. Dishahîhkan oleh Syaikh al-Albâni dalam ash-Shahîhah no. 957.


Semoga Bermanfaat.

Oleh : Ustadz Sa'id Abu Ukasyah, Hafizahullah
           Ustadz Abu Ahmad Said Yai, Hafizahullah

CABUT GIGI DAN KEBUTAAN

Pernahkah Anda mendengar seseorang berkata, “Hati-hati kalau mau cabut gigi, nanti bisa buta,  lho !” Apa sebenarnya tindakan pencabutan ...